Oleh: Prisa Indratmoko, S.Pd.I. (SDN Banjaranyar, Pekuncen, Banyumas, Jawa Tengah)
Langit merona di bawah cakrawala Papua, cerahnya hari hangatkan suasana hati. Pagi itu di bawah rindangnya pepohonan, seorang pemuda menikmati sejuknya air yang mengalir membelah hijaunya rerumputan. Jernih airnya membuat kita dapat melihat keindahan alam bawah yang dihiasi keunikan satwa-satwanya. Pemuda dari Jawa itu bernama Prawiro Kusumo biasa dipanggil wiro, ia sudah beberapa bulan mengikuti pamannya tinggal di Papua. Semula ia berencana untuk mencari pengalaman hidup di masa lajangnya karena mendengar cerita pamannya bahwa di sana sangat membutuhkan orang yang dapat berkecimpung di dunia pendidikan untuk membantu warga yang sebagian berasal dari jawa sebagian besar warga asli pedalaman yang masih berpendidikan rendah. Kebetulan wiro adalah seorang pemuda yang baru menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi jurusan ilmu pendidikan.
Wiro merupakan orang yang ulet dan bertanggung jawab serta rajin beribadah, itulah yang membuat paman wiro bersama warga sekitar membuatkan wiro sebuah gubuk kecil dengan sedikit lahan kebun di samping dan di belakang rumah gubuknya. Wiro begitu senang tinggal di rumah tersebut meskipun tak sebagus rumah orang tuanya di Jawa namun susasana pedesaan yang masih asri dan belum terjamah membuat wiro menjadi betah. Belajar dan bermain dengan anak-anak menambah suasana menjadi semakin hangat yang membuat wiro semakin merasa betah karena terpanggil untuk mendidik mereka. Setiap harinya silih berganti anak-anak bertangan untuk bermain di rumah wiro, mereka menyukai permainan-permainan yang wiro ajarkan karena baru pertama kali ada orang yang mengajarkan permainan-permainan yang begitu mendidik dan tidak membosankan. Wiro juga mengajarkan sikap cinta tanah air, cinta negara Indonesia serta berusaha menanamkan karakter Pancasila. Hari demi hari ia lalui dengan berbagai macam kegiatan. Pagi harinya wiro belajar dan bermain bersama anak-anak, siangnya wiro mengolah lahannya menjadi kebun sayur, sore harinya mengajar ngaji.
Melihat banyaknya anak usia sekolah yang tidak bersekolah hatinya tergerak untuk mengumpulkan mereka dan mengajarkan apa yang mereka butuhkan pada usia dasar. Menggunakan sarana dan prasarana seadanya, wiro menjalankan tugasnya sebagai seorang sarjana pendidikan untuk mendidik anak-anak meskipun tak ada bayarannya. Setelah belajar bersama anak-anak, wiro meneruskan aktifitasnya dengan mengolah lahan perkebunan mempraktekkan ilmu perkebunan hasil sharing dengan teman-temannya dari fakultas pertanian. Meskipun tidak luas, lahan itu cukup untuk membuat wiro berkeringat. Bekerja dengan penuh semangat, lahan yang tadinya kering berupa semak belukar disulapnya menjadi kebun ubi dan sayuran yang hijau. Di tengah kebunnya itu ada sebuah bak air kecil berukuran 3×3 meter yang di dalamnya berisi ikan lele. Selain untuk dikonsumsi, air kolam ikan lele tersebut dapat digunakan sebagai pupuk alami untuk menyuburkan tanah sehingga tanaman terlihat lebih subur dan hasilnya pun akan lebih baik dari tanaman di tempat lain. Ikan yang ia pelihara merupakan hasil dari memancing di danau yang tak jauh dari tempat tinggalnya.
Begitulah keseharian wiro dengan kesederhanaannya yang selalu ia nikmati dengan penuh rasa syukur dan keikhlasan. Wiro tak pernah membayangkan kalau ia akan berada di tempat pedalaman papua yang begitu asyik, jauh dari keramaian kota. Dahulu pada waktu masih kuliah, wiro selalu diberi fasilitas yang lengkap oleh orang tuanya dan serba berkecukupan, sehingga ia berfikiran setelah lulus kuliah ia akan mengajar di sekolah elit perkotaan dengan gaji yang besar. Namun kini ia menyadari bahwa pendidikan anak-anak lebih penting dari besarnya gaji dan lengkapnya fasilitas mengajar di kota. Keadaan dan fasilitas di pedalaman ternyata lebih menantang dan membuatnya lebih kreatif serta lebih mengerti arti dari sebuah pendidikan.
Suatu saat ketika anak-anak semakin banyak, terbesit dalam fikirannya bahwa mereka membutuhkan fasilitas yang lebih baik untuk menunjang proses pembelajaran. “sepertinya anak-anak membutuhkan tempat yang layak serta alat-alat tulis agar proses pembelajaran semakin baik.” ujar wiro. Kemudian pada malam harinya, wiro bermunajat memohon kepada Allah SWT atas segala yang dibutuhkan. Keesokan harinya pada saat wiro sedang bersama dengan anak-anak yang jumlahnya sekitar dua puluh anak, paman wiro datang bersama seseorang yang belakangan diketahui merupakan kepala suku di wilayah itu. Mereka melihat proses kegiatan belajar anak-anak yang kurang layak, tempat belajar terlalu sempit, alat-alat tulis juga terbatas. Namun semangat belajar anak-anak sangat luar biasa, mereka sangat antusias memperhatikan apa yang diajarkan oleh wiro. Menulis, membaca bahkan mereka yang asli suku papua belajar menghafal bahasa Indonesia serta belajar mengenal nama-nama daerah di Indonesia, anak-anak pun diajarkan menyambut tamu dengan baik sehingga membuat kepala suku terkesan dengan apa yang diajarkan oleh wiro.
Setelah anak-anak selesai belajar, ada yang masih melanjutkan bermain dan ada juga yang langsung pulang ke rumah. Wiro segera menemui tamunya kemudian mengobrol banyak tentang wilayah itu serta menceritakan tentang kondisi anak-anak yang belajar bersamanya. Setelah lama mengobrol, kepala suku undur diri berpamitan kemudian pulang diantar oleh pamannya wiro. Tak lama kemudian pamannya wiro datang lagi dengan membawa hasil kebun pemberian dari warga. Paman wiro mengatakan bahwa kepala suku menceritakan keadaan serta kebutuhan belajar anak-anak kepada warga dan warga sangat antusias. Mereka merencanakan akan membuatkan tempat belajar yang layak untuk anak-anak agar mereka dapat belajar dengan baik. Paman wiro juga menceritakan kondisi wilayah yang jauh dari pusat perbelanjaan sehingga kemungkinan pembangunan tempat belajar juga seadanya. Setelah itu sang paman mengundurkan diri berpamitan kemudian pulang ke rumahnya yang tidak begitu jauh kira-kira dua ratus meter dari rumah wiro.
Wiro semakin semangat karena do’anya dikabulkan, Allah SWT menggerakkan hati warga untuk membangun tempat belajar, dalam munajatnya wiro tak henti-hentinya mengucapkan syukur kepada Allah atas kabar gembira yang diterimanya hari itu. Keesokan harinya banyak warga berkumpul dengan membawa berbagai macam peralatan untuk membangun tempat belajar. Beberapa hari kemudian, dengan semangat gotong royong dari warga akhirnya tempat belajarpun berdiri. Meskipun tidak seperti tempat belajar di Jawa tapi tempat itu termasuk cukup baik dan sangat layak untuk ukuran di pedalaman. Masyarakat merayakannya dengan penuh suka cita, mereka mengadakan pesta adat Papua yaitu bakar batu dan makan bersama dengan berbagai macam menu dari hasil bumi mereka. Tak ketinggalan hasil kebun wiro pun ikut diperkenalkan kepada warga dan mereka sangat tertarik dengan hasil kebun wiro. Warga menjadi sering datang ke rumah wiro untuk belajar berkebun setelah proses belajar selesai. Wiro mengajarkan tata cara berkebun dengan senang hati agar warga mendapatkan hasil kebun yang lebih baik.
Setelah masyarakat mempraktekan tata cara berkebun yang wiro ajarkan, hasil kebun warga menjadi lebih berlimpah kemudian banyak warga yang datang membawa sebagian hasil kebun mereka, saking banyaknya hasil kebun dari warga hingga rumah wiro tak dapat menampungnya. Dari keadaan itu fikiran kreatif wiro kembali bekerja, ia berfikir untuk membawa hasil kebun warga ke pasar untuk dijual kemudian hasilnya akan dibelanjakan untuk membeli alat-alat belajar anak-anak. Proses pembelajaran anak-anak menjadi lebih baik dan lebih lancar dengan ide itu. Tidak hanya untuk anak-anak, bahkan wiro juga melatih dan mendidik para pemuda agar mendapat pendidikan yang selama ini tidak diperoleh. Semakin lama tempat pendidikan yang dikelola oleh wiro semakin terkenal hingga ke desa tetangga. Tidak hanya itu, pendidikan tentang perkebunan yang wiro ajarkan juga semakin meluas hingga masyarakat desa tetanggapun semakin mengenalnya. Wiro semakin senang kerena ilmu yang dibawanya lebih bermanfaat di wilayah pedalaman itu. Pendidikan semakin maju, hasil perkebunan juga semakin meningkat sehingga masyarakat semakin sejahtera.
Kabar hasil kebun yang melimpah tidak hanya diketahui oleh masyarakat tetangga desa saja, bahkan orang-orang yang tak dikenalpun mendengar kabar itu, bahkan sekelompok orang tak dikenal mendatangi wiro. Setelah mengobrol dapat diketahui ternyata mereka adalah gerombolan kelompok yang biasa merampas hasil bumi dari warga pedalaman. Mereka adalah bagian dari kelompok bersenjata yang meresahkan masyarakat Papua. Mereka datang dengan tujuan untuk meminta hasil bumi dari warga desa tempat di mana wiro menetap dan mengajar. Wiro pun tak dapat berbuat apa-apa, dengan membawa banyak orang dan bersenjata membuat wiro tak dapat melawan kareana diancam. Kejadian itu tak hanya sekali, bahkan seakan akan menjadi kegiatan rutin kelompok tersebut. Setiap kali dantang, mereka merampas semua yang ada dari masyarakat bahkan tidak menyisakan sedikitpun.
Warga masyarakat yang tadinya hidup berkecukupan kini harus menelan pil pahit akibat perbuatan gerombolan pengacau itu. Bahkan mereka harus menahan lapar menunggu hasil kebun panen, itupun harus dipanen sebelum saatnya karena takut diambil oleh para pengacau. Begitu juga dengan wiro yang harus memutar otak memikirkan bagaimana caranya agar pendidikan yang ia kelola dapat berjalan lancar seperti sediakala. Kondisi saat itu seperti sejarah penjajahan yang ia pelajari, anak-anak yang baru saja dapat menikmati pendidikan harus menelan kenyataan pahit tak dapat menikmati belajar denga nyaman. Banyak masyarakat yang ketakutan dan melarang anak-anaknya keluar rumah sehingga tempat pendidikan yang belum lama didirikan menjadi kosong. Wiro berencana pergi meminta bantuan ke pos keamanan terdekat namun tak dapat dilakukan karena dia diawasi oleh para pengacau itu.
Suatu hari wiro bersama beberapa warga berencana untuk melrikan diri dari pengawasan mereka namun wiro tertangkap oleh salah satu dari mereka yang berjaga di ujung desa. Wiro dan beberapa wargapun dibawa salah satu markas persembunyian kelompok itu. Wiro dipaksa untuk mengajari mereka cara membaca dan menulis namun wiro menolak karena wiro tahu bahwa mereka itu adalah kelompok yang berencana untuk melepaskan diri dari NKRI. Sikap wiro membuat pimpinan gerombolan itu marah dan menyiksa orang-orang yang ditangkap dengan mencambuk, memukul bahkan ada yang dibunuh di depan wiro agar ia mau mengajari membaca dan menulis. Hari demi hari wiro lalui dengan siksaan yang pedih dan kejadian-kejadian yang mengerikan. Mereka menangkap satu persatu warga kemudian disiksa dan dibunuh. Hal itu tak membuat wiro gentar, bahkan semangat wiro makin kuat untuk memberikan pendidikan kepada warga pedalaman.
Kejadian penyiksaan dan pembunuhan yang diakukan gerombolan pengacau akhirnya terdengar oleh pemerintah NKRI. Petugas keamanan yang terdiri dari TNI dan POLRI segera mengadakan pertemuan darurat untuk menyelamatkan warga NKRI yang disandera oleh gerombolan tersebut termasuk wiro. Dengan penuh keikhlasan dan pasrah dengan keadaan yang mengerikan, darah bercucuran dan luka-luka di sekujur tubuh akibat siksaan, tiada henti-hentinya wiro bermunajat memohon keselamatan kepada Allah SWT. Sudah beberapa hari wiro tak dapat berbuat apa-apa, ia hanya tergeletak di atas tanah sembari berdo’a dengan penuh harapan kepada Allah SWT.
Pada suatu malam, kondisi markas terlihat sepi. Sebagian anggota gerombolan sedang keluar merampas hasil bumi masyarakat. Dalam keadaan itu tiba-tiba terdengar suara tembakan yang mengakibatkan beberapa anggota gerombolan jatuh tersungkur. Tak lama kemudian datanglah beberapa orang yang akan menyelamatkan sandera. Orang-orang tersebut tak lain adalah anggota TNI dan POLRI yang bertugas dalam misi penyelamatan. Dengan sangat hati-hati, mereka mengeluarkan warga yang disandera dan membawanya ke pos keamanan terdekat sehingga para sandera mendapatkan pertolongan medis dan menunggu helikopter membawa ke rumah sakit.
Wiro terbaring dalam keadaan tak sadarkan diri, di salah satu ranjang darurat di dalam pos keamanan. Kondisinya terlihat sangat lemah sehingga butuh waktu beberapa hari untuk sadarkan diri. Setelah sadar dan membuka matanya, wiro melihat sang paman dan bibi berada di sebelahnya, mereka dengan setia menunggu dan merawat wiro. Air mata kebahagiaan menetes di pipi paman dan bibi wiro, mereka sangat bersyukur karena wiro masih diberi keselamatan oleh Allah SWT. Keadaan wiro masih sangat lemah, melihat paman dan bibinya wiro pun berkata dengan terbata-bata. “Paman, bibi, wiro berada di mana? tanya wiro. “Alhamdulillaah…tenang wiro, insyaa Allah kamu sekarang aman, kamu berada di pos keamanan pemerintah.” Sang paman menjawab pertanyaan wiro. “Sekarang kamu istirahat saja yah…jangan banyak bicara dulu, nanti kamu akan dibawa ke rumah sakit” lanjut sang paman. Tak lama kemudian, helikopter medispun datang untuk membawa wiro ke rumah sakit agar mendapat perawatan sebagaimana mestinya.
Setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit, wiro akhirnya dinyatakan sembuh dari luka-lukanya. Namun, wiro terlihat masih sedikit lemah dan belum sepenuhnya kuat, sehingga masih membutuhkan beberapa hari untuk dapat sepenuhnya pulih. Bebrapa hari kemudian, setelah wiro pulih, wiro berkumpul kembali dengan keluarganya. Wiro menceritakan pengalamannya selama berada di pedalaman papua. Ia menceritakan semua proses yang selama ini ia lalui, perjuangan dari awal hingga membuat sedikit perubahan di sana.
Mendengarkan semua cerita wiro, semua keluarga terharu, mereka tak menyangka wiro melakukan semua itu. Keluargapun meminta agar wiro tidak Kembali ke pedalaman papua dikarenakan kondisi yang sudah tidak aman. Namun wiro tetap bersikeras untuk Kembali ke sana, karena ia berfikir bahwa warga masyarakat di sana masih sangat membutuhkannya. “Maaf bapak dan Ibu, demi Negara Indonesia, saya akan tetap Kembali dan mengajar di sana.” Kata wiro dengan penuh semangat. Mendengar wiro yang bersikeras ingin Kembali ke sana, keluargapun tak dapat berbuat apa-apa, mereka akhirnya mendukung keputusan wiro meskipun dengan berat hati.
Tak lama kemudian, wiro mengunjungi pihak berwenang untuk meminta Kembali ke pedalaman papua agar ia bisa melanjutkan tugasnya mendidik masyarakat di sana. Mendengar keterangan dan cerita dari wiro, pihak berwenangpun akhirnya mengizinkan wiro Kembali ke pedalaman papua dan wiro diangkat sebagai salah satu Guru Pemerintah yang ditugaskan di daerah terpencil pedalaman papua. Pemerintah juga mendirikan sekolah di sana dan mendirikan pos keamanan untuk menjaga agar masyarakat di sana dapat menikmati Pendidikan sebagaimana di daerah-daerah lain yang aman.
Setelah semua kejadian yang dialaminya, akhirnya wiro Kembali ke pedalaman Papua dengan segala fasilitas yang telah didirikan dan keamanan yang dijaga ketat oleh aparat negara sebagaimana sekolah-sekolah yang ada di Indonesia sehingga anak-anak masyarakat pedalaman papua ikut merasakan kenyamanan dalam belajar, keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, merasakan pendidikan dan pembangunan yang merata.