Oleh: Sepma Pulthinka Nur Hanip (Dosen Luar Biasa Prodi Pendidikan Agama Islam UIN Mataram, NTB)
Masyarakat adat merupakan kelompok komunitas yang memegang teguh tradisi atau budaya yang diwariskan turun-temurun dari nenek moyangnya. Tradisi tersebut dapat dikatakan sebagai kearifan lokal yang diartikan sebagai Local Wisdom (Kebijaksaan setempat) atau local knowledge (Pengetahuan setempat). United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization atau biasa disebut UNESCO meyakini, sesungguhnya warisan budaya bukanlah konsep absrak tetapi eksis dalam praktik tindakan manusia. Warisan budaya tersebut didefinisikan oleh UNESCO sebagai sebuah praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan, instrumen, objek, artefak, dan ruang budaya yang terkait dengannya, diakui komunitas dan dalam beberapa kasus, individu sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Warisan budaya tak benda ini, yang diwariskan dari generasi ke generasi, secara konstan diciptakan kembali oleh komunitas atau kelompok sebagai tanggapan terhadap lingkungan mereka, interaksi mereka dengan alam dan sejarah mereka, dan memberi mereka rasa identitas dan kontinuitas, sehingga mempromosikan penghormatan terhadap keanekaragaman budaya dan kreativitas manusia.
Sistem masyarakat Sasak, awig-awig merupakan aturan yang merepresentasikan dan sangat khas memuat nilai-nilai kemanusiaan yang diturunkan oleh nenek moyang. Awig-awig adat pada dasarnya bersifat dinamis disebabkan perubahan sosial masyarakat. Terlebih, awig-awig adat ini merupakan peninggalan dari nenek moyang suku Sasak namun hanya disampaikan melalui tradisi lisan. Oleh sebab itu, untuk menjadikan aturan yang jelas, aturan adat harus menjadi hukum yang tertulis. Selain itu, awig-awig adat ini merupakan aturan yang sesuai dengan realitas sosial hari ini sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi dapat diselesaikan di tengah masyarakat dengan aturan dan sangsi adat yang jelas berdasarkan kesepakatan bersama. Awig-awig adat ini biasanya dirumuskan melalui hasil loka karya krama adat yang setidaknya memuat 3 aspek penting yaitu, daur hidup (tata cara hidup) yang didalamnya memuat etika bermasyarakat dinamakan adat tapsila. daur ala (upacara kematian), dan daur ayu (upacara keagamaan).
Fokus yang menjadi perhatian dalam tulisan ini adalah pada salah satu corak dalam awig-awig adat yang mengatur tata cara hidup dalam bermasyarakat yaitu adat tapsila. Adat tapsila merupakan tata krama, adat istiadat, tata tertib yang mengatur tata cara pergaulan, berbangsa, beragama dalam kehidupan bermasyarakat sehingga tercipta kehidupan yang rukun, damai, aman, tertib dan harmonis. Adat tapsila memiliki batasan-batasan yang mencakup 3 poin penting yang harus ditaati. Pertama, sopan dalam bertingkah laku dan berbicara harus dengan rasa hormat dan penghargaan terhadap orang lain. Kedua, patut yang diartikan sebagai tingkah laku dan berbicara tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan, nilai-nilai agama, dan nilai-nilai luhur yang berkembang di dalam masyarakat. Ketiga, harmonis yang berarti keserasian hubungan antara seseorang dengan sesama warga yang lainnya dalam hal berhubungan baik, rukun, tolong menolong maupun tenggang rasa dalam bermasyarakat.
Adat tapsila dalam dimensi ke-Indonesia-an merupakan bentuk dari komitmen kebangsaan yang mengemban tanggung jawab dan kesetiaan dalam menumbuhkan kesadaran diri sebagai warga negara dalam ranah etika kemasyarakatan. Artian yang lebih luas, adat tapsila lebih mengedepankan pada hak dan kewajiban warga negara yang terwujud dalam cinta tanah air yang artinya saling menjaga antar warga negara dalam ruang agama, ras dan budaya. Menjaga persatuan yang berlaku pada menghormati sesama, tidak membeda-bedakan seseorang dari mana asal-usulnya, mengerti dan merasakan penderitaan dan memperluas pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa. Rela berkorban dan menyumbangkan pemikiran bagi keutuhan NKRI.
Berdasarkan hal di atas, adat tapsila menjamin keutuhan berbangsa dan bernegara terlepas dari apapun agama yang dianutnya. Adat tapsila dapat menjadi jawaban untuk merawat harmoni antar agama dalam masyarakat Sasak, pada dasarnya sebagai suatu bentuk pengkondisian atau respon dari lingkungan yang ketika melakukan perilaku kebaikan akan selalu diulang-ulang akan melahirkan bentuk reward atau apresiasi yang baik dari masyarakat. Sedangkan ketika melakukan hal yang menjadi problem terjadinya suatu yang negatif dalam arti merusak nilai-nilai keharmonisan akan mendapatkan hukuman (punisher) sesuai yang berlaku di dalam aturan yang telah ditetapkan. Menurut pandangan Homans, reward dan punishment merupakan alat tukar yang bersifat materi maupun non-materi yang dapat melahirkan respon rasa cinta, pengakuan, loyalitas, dukungan dan pengetahuan.
Melanggar nilai-nilai kemanusiaan dalam adat tapsila yang telah dipegang teguh masyakakat Sasak yang memiliki dua keyakinan yaitu Islam dan Buddha dengan niat merusak tatanan sosial, mengganggu keharmonisan, dan hilangnya rasa toleransi sehingga menghadirkan konflik disebut dengan nantang geni. Berakibat pada dirinya sendiri sehingga dikenakan sanksi ngawe pati yang berarti menyebut orang lain dengan kata yang tidak seharusnya atau memfitnah sehingga dikenakan denda urip.
Bagi masyarakat Sasak, untuk memelihara nilai-nilai kebaikan tersebut penting untuk diterapkan sebagai pembiasaan baik dalam lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Paradigma nilai merupakan kemutlakan dan suatu kebenaran yang dijadikan sebagai integrasi sosial dalam suatu budaya. Tujuan dari penerapan nilai-nilai dalam adat tapsila tersebut dijadikan sebagai perbaikan moral, karakter dan identitas diri yang sesungguhnya sebagai manusia.
Belakangan ini, konsep adat tapsila ini perlu muncul sebagai perlawanan untuk menanggulangi paradoks toleran dalam artian dalam lingkaran keyakinan agama yang sama, masyarakat yang mengaku sebagai mayoritas harus saling toleransi, tetapi jika telah dihadapi dengan berbeda keyakinan agama, intervensi dari kelompok mayoritas akan muncul dalam sistem masyarakat dan merasa dihantui oleh rusaknya integrasi sosial. Melalui pandangan ini, komitmen kebangsaan menjadi hal yang dipertanyakan dalam ruang lingkup sosial dan budaya.
Hadirnya adat tapsila berdampak pada terjalinnya integrasi sosial, mengukuhkan komitmen kebangsaan dan kehidupan yang harmonis antar warga negara. Awig-awig adat Sasak dari sisi penerapannya, dijadikan sebagai kontrol sosial yang termuat dalam fatwa MAS (Majlis Adat Sasak) yang berbunyi “aku adalah kamu, kamu adalah aku”. Ungkapan ini merupakan simbol dari persaudaraan yang sangat kuat dan terikat antara golongan agama dan suku. Selain sebagai bentuk kegiatan sosial, tradisi ini juga berfungsi untuk mempererat atau merperkuat tali persahabatan, persaudaraan, saling mengerti dan lebih mengedapankan perasaan, sebagai contoh ketika ada saudara atau tetangga yang sedang susah, maka warga lain juga harus merasakan kesusahan, begitu juga sebaliknya. Jika ada pernikahan juga demikian persiapannya dikerjakan secara bersama-sama. Jika tidak datang dalam menghadirinya, hukum sosialnya berlaku di masyarakat seperti diacuhkan oleh sesama.
Refleksi di tengah masyarakat jika berbuat baik dengan sesama, pasti akan dibalas dengan kebaikan. Dalam agama, seruan untuk kebaikan selalu dikumandangkan sehingga membentuk kepecayaan yang jika kebencian dibalas dengan kebencian, maka kebencian itu tidak akan pernah berakhir. Tapi jika kebencian dibalas dengan cinta kasih maka kebencian itu akan hilang. Termasuk dalam adat yang dipegang teguh masyarakat Sasak. Dasar-dasar cinta kasih banyak ditemukan dalam semua teks keagamaan yang berbunyi, “cintailah sesama manusia sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri”. Perkataan ini hidup dalam agama dan masyarakat yang plural yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme sehingga banyak dari orang spiritualis menggambarkan sesungguhnya sikap saling mencintai adalah hal yang paling mudah untuk dirasakan oleh semua manusia karena bersifat alamiah.