Oleh: Usnan, S.Pd.SD. (SDN Kalisari, Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah)
Dila awalnya seorang anak yang periang, namun anehnya sedikit jorok dan cuek. Dila duduk di kelas IV SD Sarikali. Setiap hari bajunya lusuh, sepertinya tak pernah tersentuh oleh hangatnya setrika. Dia anti dengan Body Mist, maupun pengharum baju, hingga bau tidak sedap bajunya menusuk hidung. Aroma khas bau ketiak yang seminggu tidak tersentuh air. Walaupun begitu, ternyata Dila memiliki hobi positif yang bisa dikembangkan untuk mengasah kreativitas, yaitu melukis.
“Dila!” Ibu gurunya memanggil.
“Dalem bu.” Jawab Dila.
“Kenapa baju kamu lusuh sekali nak?” Tanya Ibu Guru.
“Kemarin lupa tidak disetrika bu.” Jawab Dila.
“Kenapa tidak disetrika dulu?” Tanya Ibu Guru.
“Ibu saya sibuk bu, tidak sempat menyetrika baju.” Jawab Dila dengan santainya.
Dila selalu punya seribu alasan jika ditanya ibu guru tentang kebersihannya. Bahkan suatu hari Dila berangkat sekolah belum mandi, rambut acak-acakan dan menyengat bau mulutnya karena habis sarapan pakai petai tapi tidak gosok gigi. Ibu guru tidak pernah berhenti menasehati Dila untuk memperhatikan kerapian dirinya, namun Dila tidak tersentuh hatinya untuk merubah kebiasaannya.
Bel berbunyi, tanda jam istirahat tiba. Anak-anak berhamburan keluar kelas. Siswa-siswi ada yang pergi ke kantin, berlari ke koperasi, ada juga yang hanya bermain di halaman sekolah. Dila tidak keluar kelas, dalam hati Dila bergumam
“Kalaupun keluar kelas, toh aku tidak dikasih uang jajan sama Ayahku.” Dila sadar keluarganya memang serba kekurangan. Prinsip Dila daripada diberi uang saku untuk jajan, mendingan uang sakunya dikembalikan ke Ayahnya untuk membeli kebutuhan pokok dirumah. Dila berharap suatu saat nanti keluarganya bisa punya rumah sendiri sehingga tidak harus berpindah-pindah kontrakan. Dila membuka tas, dalam benaknya ia berpikir lebih baik dia melukis saja, bermain di kelas sambil mencorat-coret buku gambarnya dengan cat air. Pada saat Dila sedang menggambar tanpa sengaja cat airnya tersenggol hingga tumpah dan meninggalkan bekas di bajunya, sehingga membuat baju seragam Dila tambah tak enak dipandang.
Dua teman Dila yang mengerti kondisinya yaitu Nisya dan Irma, mereka lah yang setia bermain bersama Dila di kelas. Mereka sangat memperhatikan penampilannya. Baju mereka rapi dan bersih. Dibandingkan dengan Dila, penampilan mereka bak langit dan bumi. Nisya mendekati Dila sambil mengendus-enduskan hidungnya.
“Wangi apa ini, menyengat hidungku,” Kata Nisya sambil menutup hidungnya melirik ke arah Dila.
“Iya tajam sekali wanginya, seperti kaos kaki yang seminggu tidak tersentuh air.”
Irma menyahut dengan tertawan “Hahaha…” Dila hanya melirik mereka sambil tersenyum.
“Dila, kamu buang gas ya?” Tanya Nisya.
“Tidak.” Jawab Dila santai.
“Jujur saja kamu Dila…” Irma menimpali.
“Hahaha,” Dila tetap tersenyum.
“Ih, jorok,” sahut mereka berdua.
“Maaf ya, sebenarnya bajuku lupa belum dicuci, mungki ini bau yang keluar dari bajuku.” Dila menjawab santai.
“Apa! bajumu belum dicuci? Ini seragam merah putih sudah dipakai hari Senin dan Selasa minggu kemarin belum dicuci dan dipakai lagi?” Sahut mereka berdua seraya paduan suara menjawab bersamaan.
“Ya, ibuku lupa tidak mencucinya, padahal hari Selasa minggu kemarin aku terjatuh didekat kandang ayam Toni dan terkena kotoran ayam saat pulang sekolah.” Jawab Dila santai.
“Dila … apa kamu tidak punya baju merah putih cadangan sehingga baju kotor kamu pakai lagi?” Irma setengah penasaran mengorek keterangan Dila.
“Ini satu-satunya baju seragam meram putih yang aku punya. Jadi walau aku tahu kotor dan bau, makanya tetap aku pakai karena tidak ada yang lain.” Dila menerangkan.
“Aku sadar banyak teman yang melirik sinis kepadaku karena aku kumal, dekil, dan aku sering gatal-gatal karena bajuku tidak pernah disetrika. Ketika mencuci baju juga tanpa pewangi pakaian sehingga bau keringatku masih menyengat.” Dila menjelaskan lagi.
“Oh begitu ya, sepulang sekolah nanti aku akan mengatakan kepada Ibuku untuk membawakan baju untukmu besok, supaya hari Senin dan Selasa bisa bergantian dipakai kebetulan aku punya tiga seragam merah putih.” Sahut Nisya menawarkan bajunya.
Tiba-tiba tanpa mereka sadari Ibu guru sudah ada dibelakang. Beliau mendengar percakapan Dila dan temannya. Ibu guru merasa prihatin melihat kondisi Dila. Ibu Guru Tisef adalah guru kelas IV, setelah itu beliau duduk di sebelah Dila. Bu Tisef adalah guru kesayangan Dila. Beliau salah satu guru yang paling perhatian kepada Dila.
“Dila kenapa kamu istimewa sekali nak?” Tanya Ibu Tisef.
“Maksud Ibu Guru bagaimana? Dila tidak paham.” Jawab Dila.
“Dila? Tidakkah kamu merasa berbeda dengan teman-temanmu? Adakah temanmu yang sepertimu? Apakah ada temanmu yang acak-acakan dalam berpakaian? Bukankah hanya sedikit temanmu yang mau bermain denganmu?” Ibu Guru memberikan segudang pertanyaan kepada Dila dengan harapan Dila mau berbagi cerita tentang dirinya, tidak menahan penderitaannya sendiri.
“Dila kalau tidak keberatan berceritalah kepada Ibu guru atau sahabatmu, ceritalah nak ada apa?” Desak Ibu guru.
“Dulu kamu anak yang periang, tetapi kenapa sekarang berubah?” Tanya Ibu guru lagi.
Tanpa disangka, tak sepatah katapun keluar dari mulut Dila. Ia diam membisu. Tangannya hanya sibuk sendiri membersihkan tumpahan cat air dibajunya dengan tisu. Sesedih apapun biasanya Dila selalu bercerita kepada kedua teman dan gurunya. Kali ini Dila beda dari biasanya.
Awan mendung mulai menyembul dari balik matanya. Sepertinya hujan akan segera turun. Benar saja, tak lama kemudian isak tangis Dila pecah. Ia sesenggukan sambil membungkukan badannya bersandar pada meja. Dengan lirih, pela-pelan Dila mulai bercerita.
“Maaf Bu, sebenarnya aku tidak ingin bercerita kepada siapapun tentang masalahku, biarlah aku sendiri yang menanggung deritaku. Aku tidak mau orang lain tahu. Tapi demi menghormati Ibu guru Tisef yang sudah aku anggap seperti orang tuaku sendiri dan kedua sahabatku yang sudah aku anggap seperti keluargaku, baiklah aku akan cerita bu.” Jawab Dila ketika akan bercerita.
“Ibu, aku sendiri tidak pernah menyangka jika perjalanan hidupku seperti ini. Ayah yang berjuang membesarkannku dengan penuh kasih sayang. Tanpa sadar keluarlah kalimat yang akhirnya mengungkap jatidiriku, siapa sebenarnya aku. Ayah yang merawatku sejak bayi, sudah lama cerai dengan Ibuku. Ibuku menikah lagi dengan orang lain. Begitu juga Ayahku juga sudah menikah lagi. Ketika aku sudah kelas empat, tiba-tiba Ibuku datang kepada Ayahku meminta hak asuh agar aku ikut dengan Ibuku. Ibu dan Ayah tiriku menyewa pengacara melawan Ayahku agar hak asuhku jatuh kepada Ibuku. Ayahku yang selama ini merawatku sejak bayi tidak terima dan berusaha mempertahankan hak asuhku, namun karena Ayahku hanya orang kampung yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah sehingga tidak bisa melawan permainan kata-kata dari pengacara. Karena tidak bisa mempertahankan hak asuhku tanpa sadar keluar kalimat yang mengungkap siapa jati diriku. Siang itu aku baru tahu kalau Ayah yang aku sayangi, yang dengan tulus ikhlas merawatku dari bayi, ternyata bukan Ayah kandungku.” Setiap kali mengingat kalimat itu Dila menangis.
Dila diam sambil menyeka air mata yang yang terus menyembul bak lumpur panas dari gunung ketika meletus, Ia tidak mau berhenti walaupun setengah bungkus tisu habis untuk menyeka air matanya.
“Ditengah keributan itu, akhirnya aku tahu jati diriku Bu, sejak saat itu aku tidak peduli lagi terhadap penampilanku. Aku tak pernah menyetrika baju, bahkan aku tidak terlalu mempedulikan apakah baju yang kupakai sudah dicuci atau belum. Baju kumal, bau, dekil, tetap aku pakai. Sebenarnya aku sering merasa gatal, bahkan terkena penyakit kulit akibat tidak menjaga kebersihan bu. Tapi ini aku lakukan karena aku belum bisa menerima kenyataan yang aku alami.” Dila mengakhiri ceritanya.
Semua diam membisu. Ibu guru menasehati Dila agar ia tabah dan sabar menerima kenyataan ini dengan ikhlas. Apapun kenyataannya, itu semua sudah ditakdirkan. Semua sudah ada yang mengatur. Jika kita tabah dan mau membuka mata dan membuka hati pasti ada hikmanya. Biarlah waktu yang akan membuka kebenaran yang ada. Siapa orang tua yang tulus ikhlas merawat Dila dan siapa orang tua yang amanah menjaga titipan-Nya. Biarlah waktu yang menjawabnya. Dila tidak boleh larut dalam kesedihan. Dila harus bangkit. Mereka berdua tetap orang tua Dila.
Air mata Dila kini mulai berhenti mengalir. Dila mulai bangkit setelah mencurahkan semua permasalahan yang menimpa hidupnya serta selama ini terpendam dalam hati. Sejak saat itu, Ibu Guru Tisef selalu memperhatikan Dila. Beliau membelikan kebutuhan sekolah Dila yang dia tidak bisa memenuhinya. Kini, kondisi Dila sudah tidak lusuh lagi. Teman Dila selalu memberikan dukungan kepada Dila jika sedih. Dila harus hidup normal seperti teman yang lain. Perhatikan pakaian, perhatikan penampilan dan yang paling penting jaga kesehatan. Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Kalau pola hidup kita sehat maka tubuh kitapun sehat, sehingga jiwa kita menjadi kuat.